Pengantar
BMT merupakan salah satu jenis lembaga keuangan bukan bank yang bergerak dalam skala mikro sebagaimana koperasi simpan pinjam (KSP). Adapun bank umum merupakan lembaga keuangan makro sedangkan bank perkreditan rakyat merupakan lembaga keuangan menengah. Dari sekian banyak lembaga keuangan mikro seperti koperasi, BKD dan lainnya, BMT merupakan lembaga keuangan mikro yang berlandaskan syari’ah. Selain itu, BMT juga dapat dikatakan sebagai suatu lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang keuangan. Ini disebabkan karena BMT tidak hanya bergerak dalam pengelolaan modal (uang) saja, tetapi BMT juga bergerak dalam pengumpulan zakat, infaq, dan shadaqah (ZIS). Ini merupakan sebuah konsekwensi dari namanya itu sendiri yaitu bait al-mal wat tamwil yang merupakan gabungan dari kata baitul maal dan bait at-tamwil. Secara singkat, Bait al-mal merupakan lembaga pengumpulan dana masyarakat yang disalurkan tanpa tujuan profit. Sedangkan bait at-tamwil merupakan lembaga pengumpulan dana (uang) guna disalurkan dengan orientasi profit dan komersial.
Perbedaan BMT dengan bank umum syari’ah (BUS) atau juga bank perkreditan rakyat syari’ah (BPRS) adalah dalam bidang pendampingan dan dukungan. Berkaitan dengan dukungan, BUS dan BPRS terikat dengan peraturan pemerintah di bawah Departemen Keuangan atau juga peraturan Bank Indonesia (BI). Sedangkan BMT dengan badan hukum koperasi, secara otomatis di bawah pembinaan Departemen Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Dengan demikian, peraturan yang mengikat BMT juga dari departemen ini. Sampai saat ini, selain peraturan tentang koperasi dengan segala bentuk usahanya, BMT diatur secara khusus dengan Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah No. 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syari’ah. Dengan keputusan ini, segala sesuatu yang terkait dengan pendirian dan pengawasan BMT berada di bawah Departemen Koperasi dan Usaha Kecil dan Mengengah.
Istilah BMT
Pada mulanya, istilah BMT terdengar pada awal tahun 1992. Istilah ini muncul dari prakarsa sekelompok aktivis yang kemudian mendirikan BMT Bina Insan Kamil di jalan Pramuka Sari II Jakarta. Setelah itu, muncul pelatihan-pelatihan BMT yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian dan Pengembangan Usaha Kecil (P3UK), di mana tokoh-tokoh P3UK adalah para pendiri BMT Bina Insan Kamil.
Istilah BMT semakin populer ketika pada September 1994 Dompet Dhuafa (DD) Republika bersama dengan Asosiasi Bank Syari’ah Indonesia (Abisindo) mengadakan diklat manajemen zakat, infaq, dan shadaqah (ZIS) dan ekonomi syari’ah di Bogor. Diklat-diklat selanjutnya oleh DD dilakukan di Semarang dan Yogyakarta. Setelah diklat-diklat itu, istilah BMT lebih banyak muncul di Harian Umum Republuka, terutama di lembar Dialog Jum’at.
Pada tahun 1995, istilah BMT bukan hanya populer di kalangan aktivis Islam saja, akan tetapi mulai populer di kalangan birokrat. Hal ini tidak lepas dari peran Pusat Inkubasi Usaha Kecil (PINBUK), suatu badan otonom di bawah Ikatan Cendekiawan Mulim Indonesia (ICMI). Bahkan pada Muktamar ICMI 7 Desember 1995, BMT dicanangkan sebagai Gerakan Nasional bersama dengan Gerakan Orang Tua Asuh (GNOTA) dan Gerakan Wakaf Buku (GWB). Hanya saja, istilah Baitul Maal wat Tamwil sering diartikan sebagai Balai Usaha Mandiri Terpadu (kependekan dan operasionalnya sama, BMT).
Untuk menjelaskan pengertian keduanya memang tidak mudah. Sebab belum ada literatur yang menerangkan secara gamblang dan tepat kedua istilah tersebut. Boleh dikatakan istilah BMT hanya ada di Indonesia. Namun menilik istilah yang ada pada padanan tersebut, BMT merupakan paduan lembaga Baitul Maal dan lembaga Baitut Tamwil. Dari kedua kata itu, istilah yang lebih akrab di telinga kaum muslimin tentunya adalah Baitul Maal, sebab kata ini sudah ada sejak zaman Rasulullah.
Sejarah Lahirnya Baitut Tamwil di Indonesia
Adapun kelahiran dan istilah baitu tamwil (BT), namanya pernah populer lewat BT Teksona di Bandung dan BT Ridho Gusti di Jakarta. Keduanya kini tidak ada lagi. Setelah itu, walaupun dengan bentuk yang berbeda namun memiliki persamaan dalam tata kerjanya pada bulan Agustus 1991 berdiri sebuah Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah (BPRS) di Bandung. Kelahirannya terus diikuti dengan beroprasinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada bulan Juni 1992.
BT yang menyusul kemudian adalah BT Bina Niaga Utama (Binama) di Semarang pada tahun 1993. BT Binama hingga kini masih bertahan dengan asset lebih dari 25 milyar rupiah. Dilihat dari fungsinya, BT sama dengan Bank Muamalat Indonesia atau BPRS yaitu sebagai lembaga keuangan syari’ah. Yang membedakan hanya skala dan status kelembagaannya. Bila BMI untuk pengusaha atas, BPRS untuk menengah ke bawah, maka BT untuk pengusaha bawah sekali (grass root). Ibaratnya, BMI adalah super market, BPRS adalah mini market, maka BT adalah warung-warung.
Semakin menjamurnya BT dan istilah BMT pada tahun-tahun itu didukung oleh adanya pelatihan-pelatihan yang dilakukan oleh Syariah Banking Institut (SBI), Institut for Shari’ah Economic Depvelopment (ISED), Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Bank Syari’ah (LPPBS). Lembaga tersebut sangat berjasa dalam mempopulerkan istilah BT yang pada waktu itu BT dianggap sebagai embrio BPRS.
Konsepsi bait al-maal sebagai pengelola dana amanah dan harta rampasan perang (ghanimah) pada masa awal Islam, yang diberikan kepada yang berhak dengan pertimbangan kemaslahatan umat, telah ada pada masa Rasulullah. Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, lembaga ini bahkan dijadikan salah satu lembaga keuangan negara yang independen untuk melayani kepentingan umat dan membiayai pembangunan secara keseluruhan.
Pada masa itu, telah diadakan pendidikan khusus yang dipersiapkan untuk pengelolaan lembaga keuangan yang beroperasi sesuai dengan syari’ah. Praktek mencari keuntungan juga mulai dilakukan dengan cara bagi hasil (mudharabah), penyertaan modal usaha (musyarakah), membeli dan membayar dengan cicilan (bai’ bi ats-tsaman ajil) dan sewa guna usaha (al-ijarah).
Perkembangan ekonomi di tanah air telah mengalami fase kemajuan yang luar biasa bahkan telah menguasai seluruh ruang gerak manusia. Hal ini dapat terlihat dengan ditandai unggulnya ekonomi syari’ah dalam lembaga keuangan yang ada di negara Indonesia.
Berdirinya lembaga keuangan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan masyarakat di satu sisi tapi mempunyai kepentingan yang sangat merugikan nasabah di sisi lain yaitu adanya dominasi penguasaan pada orang-orang tertentu. Ketika bank konvensional memfungsikan diri sebaga lembaga yang membantu masyarakat lemah pada dasarnya adalah memberikan kelonggaran di balik sebuah kesusahan yaitu adanya masa dan beban yang harus ditanggung. Fenomena seperti itu akan terus saja terjadi selama tidak ada suatu sistem yang dapat mengantarkan pelaku bisnis untuk meringankan beban yang dihadapi baik mengenai sistem perhitungan laba yang harus dipenuhi maupun aturan lain yang menuntut adanya sebuah pemaksaan yang secara tidak langsung mencekik leher bagi para pelaku binis itu sendiri.
Dewasa ini, bersamaan dengan semangat ittiba’ kepada Rasul dengan totalitas ajarannya, memunculkan semangat untuk meniru sistem “perbankan” pada zaman Rasulullah dan sahabat Umar. Terlebih dengan adanya kontroversi mengenai riba dan bunga bank, maka umat Islam mulai melirik untuk mendirikan bank yang berlandaskan syari’ah.
Dalam konteks Indonesia, keinginan tersebut nampaknya sejalan dengan kebijakan pemerintah, yang memberikan respon positif terhadap usulan pendirian bank syari’ah. Dengan disahkannya UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang mencantumkan kebebasan penentuan imbalan dan sistem keuangan bagi hasil, juga dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 yang memberikan batasan tegas bahwa bank diperbolehkan melakukan kegiatan usaha dengan berdasarkan prinsip bagi hasil. Maka mulailah bermunculan perbankan yang menggunakan sistem syari’ah, seperti Bank Muamalat Indonesia (BMI), BNI Syari’ah, BPRS-BPRS, dan Baitul Mal wat Tamwil (BMT).
Berangkat dari realitas tersebut, Islam menawarakan sebuah solusi dengan sistem ekonomi yang dapat mengangkat dan meringankan beban bagi para pelaku bisnis, baik pada tingkat pelaku bisnis pemula maupun pada pelaku bisnis di tingkat profesional. Landasan ekonomi Islam mempunyai diferensiasi yang sangat jelas dengan sistem ekonomi modern. Sebab ekonomi Islam mempunyai karakteristik yang tidak dimiliki oleh ekonomi modern.
Sistem ekonomi Islam mulai bersaing dengan sistem ekonomi konvensional dengan lahirnya Bank Muamalat Indonesia yang masih berinduk pada Bank Indonesia. Berinduk berarti bahwa perjalanan dalam menentukan sikap dan kebijakan yang berlaku di Bank Muamalat Indonesia tidak terlepas dari kontrol dari Bank Indonesia. Namun dalam menjalankan sebuah sistem yang sesuai dengan syari’at Islam adalah merupakan jalan sendiri yang tidak ada intervensi dari sistem konvensional sebagai mana yang berlaku pada Bank Indonesia.
Berawal dari lahirnya Bank Muamalat Indonesia sebagai sentral perekonomian yang bernuansa Islami, maka bermunculan lembaga-lembaga keuangan yang lain. Yaitu ditandai dengan tingginya semangat bank konvensional untuk mendirikan lembaga keuangan Islam yaitu bank syari’ah. Sehingga secara otomatis sistem perekonomian Islam telah mendapatkan tempat dalam kancah perekonomian di tanah air Indonesia.
Perkembagan ekonomi Islam tidak hanya berhenti pada tingkatan ekonomi makro, tetapi telah mulai menyentuh sektor paling bawah yaitu mikro, dengan lahirnya lembaga mikro keuangan Islam yang berorientasi sebagai lembaga sosial keagamaan yang kemudian populer dengan istilah BMT.
Munculnya BMT sebagai lembaga mikro keuangan Islam yang bergerak pada sektor riil masyarakat bawah dan menengah adalah sejalan dengan lahirnya Bank Muamalat Indonesia (BMI). Karena BMI sendiri secara operasional tidak dapat menyentuh masyarakat kecil ini, maka BMT menjadi salah satu lembaga mikro keuangan Islam yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Di samping itu juga peranan lembaga ekonomi Islam yang berfungsi sebagai lembaga yang dapat mengantarkan masyarakat yang berada di daerah-daerah untuk terhindar dari sistem bunga yang diterapkan pada bank konvesional.
Kelahiran BMT sangat menunjang sistem perekonomian pada masyarakat yang berada di daerah karena di samping sebagai lembaga keuangan Islam, BMT juga memberikan pengetahuan-pengetahuan agama pada masyarakat yang tergolong mempunyai pemahaman agama yang rendah. Sehingga fungsi BMT sebagai lembaga ekonomi dan sosial keagamaan betul-betul terasa dan nyata hasilnya.
Lahirnya BMT ini di antaranya dilatarbelakangi oleh beberapa alasan sebagai berikut;
1. Agar masyarakat dapat terhindar dari pengaruh sistem ekonomi kapitalis dan sosialis yang hanya memberikan keuntungan bagi mereka yang mempunyai modal banyak. Sehingga ditawarkanlah sebuah sistem ekonomi yang berbasis syari’ah. Ekonomi syari’ah yang dimaksud adalah suatu sistem yang dibangun atas dasar adanya nilai etika yang tertanam seperti pelarangan tentang penipuan dan bentuk kecurangan, adanya hitam di atas putih ketika terjadi transaksi, dan adanya penanaman kejujuran terhadap semua orang dan lain-lain.
2. Melakukan pembinaan dan pendanaan pada masyarakat menengah ke bawah secara intensif dan berkelanjutan
3. Agar masyarakat terhindar dari rentenir-rentenir yang memberikan pinjaman modal dengan sistem bunga yang sangat tidak manusiawi.
4. Agar ada alokasi dana yang merata pada masyarakat, yang fungsinya untuk menciptakan keadilan sosial.
Realitas menunjukkan, adanya BMT di tingkat daerah sangat membantu masyarakat dalam rangka pemenuhan kebutuhan ekonomi yang saling mengutungkan dengan memakai sistem bagi hasil. Di samping itu juga ada bimbingan yang bersifat pemberian pengajian kepada masyarakat dengan tujuan sebagai sarana transformatif untuk lebih mengakrabkan diri pada nilai-nilai agama Islam yang bersentuhan langsung dengan kehidupan sosial masyarakat.
Sebagai lembaga keuangan yang bergerak pada bidang bisnis dan sosial, BMT harus mempunyai visi yang mengarah pada perwujudan masyarakat sejahtera dan adil. Walaupun setiap BMT mempunyai visi yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, namun arah atau visi utama tersebut harus dijadikan sebagai pijakan. Pada dataran realitas, dimana BMT berbadan hukum koperasi, visi kesejahteraan dan keadilan tersebut memang diarahkan pada anggota terlebih dahulu. Namun demikian, kesejahteraan masyarakat umum juga tidak boleh dikesampingkan.
Dengan acuan tersebut, maka visi BMT dapat dirumuskan secara kelembagaan masing-masing. Hal ini mengingat lingkungan kerja BMT yang memang sangat variatif. Sehingga visi yang dibangunnya juga dapat saja berbeda-beda.
Adapun misi yang harus dijadikan sebagai acuan adalah membangun dan mengembangkan tatanan ekonomi dan masyarakat yang sesuai dengan prinsip syari’ah. Hal inilah yang membedakan koperasi pada umumnya dengan koperasi dalam bentuk BMT. Karena pengertian BMT yang mengandung unsur sosial juga, maka misi sebagaimana di atas juga harus dijadikan patokan utama. Secara defakto, rumusan redaksional misi antar BMT dapat berbeda-beda namun dengan misi utama yang sama.
Melihat visi dan misi BMT yang harus diarahkan pada terciptanya masyarakat sejahtera dan adil sebagaimana di atas, maka tujuan didirikannya suatu BMT harus relevan dengan hal itu. Selain juga sebagai lembaga berbadan hukum koperasi, BMT harus diupayakan mempunyai tujuan pemberdayaan ekonomi anggota secara khusus dan masyarakat luas pada umumnya. Pemberdayaan (empowering) harus menjadi brand tujuan BMT. Artinya bahwa pemberian modal pinjaman pada anggota maupun penyimpanannya oleh anggota harus dilakukan sebagai alat pemberdayaan ekonomi mereka. Pemberdayaan semacam ini dapat diwujudkan oleh BMT dengan cara pendampingan usaha bagi penerima modal atau dengan kegiatan-keiatan lainnya.
Dengan hadirnya Kepmen K.UKM No. 91 Tahun 2004, maka yang menjadi tujuan pengembangan KSPS, KJKS, dan UJKS yang merupakan wadah BMT, harus diarahkan pada;
Peningkatan program pemberdayaan ekonomi, khususnya di kalangan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi melalui sistem syari’ah,
Pemberian dorongan bagi kehidupan ekonomi syari’ah dalam kegiatan usaha mikro, kecil, dan menengah khususnya dan ekonomi Indonesia pada umumnya; dan
Peningkatan semangat dan peran serta anggota masyarakat dalam kegiatan Koperasi Jasa Keuangan Syari;ah
Sebagai lembaga bisnis yang profesional, BMT dituntut untuk lebih mengembangkan usahanya pada sektor keuangan, yakni simpan pinjam, jasa, dan jual beli. Usaha ini seperti usaha perbankan yakni menghimpun dana anggota dan calon anggota (nasabah) serta menyalurkan kepada sektor ekonomi yang halal dan menguntungkan. Namun demikian, terbuka luas bagi BMT untuk mengembangkan usahanya pada lahan bisnis yang lebih riil maupun sektor lain yang dilarang dilakukan oleh lembaga keuangan bank. Karena BMT bukan bank, maka ia tidak tunduk pada aturan perbankan.
Dengan adanya Kepmen K.UKM No. 91 Tahun 2004 maka ruang lingkup kerja BMT dapat berbeda-beda tergantung perizinan yang dilakukan. Artinya, jika izin pendirian BMT dilakukan sebatas di Dinas Koperasi Kabupaten atau Kota, maka ruang lingkup kerjanya sebatas Kabupaten atau Kota tersebut. Adapun BMT yang meminta izin usahanya di Dinas Koperasi Propinsi, maka secara otomatis ruang lingkup kerjanya mencakup satu propinsi tersebut. Adapun bila BMT mendapat ijin langsung dari menteri, maka wilayah operasionalnya dapt di seluruh wilayah Indonesia.
Untuk lebih jelas tentang ruang lingkup kerja BMT ini dapat dilihat dalam Kepmen No. 91 Tahun 2004 pasal 5 bagian a, b, dan c. Pasal 5 bagian a Keputusan Menteri ini menyatakan bahwa permohonan pengesahan akta pendirian Koperasi Jasa Keuangan Syari’ah Primer dan Sekunder yang anggotanya berdomisili di dua atau lebih propinsi, diajukan kepada Menteri c.q. Deputi Bidang Kelembagaan Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, setelah terlebih dahulu mendapatkan rekomendasi Pejabat pada tingkat kabupaten/kota tempat domisili koperasi yang bersangkutan dan selanjutnya menteri mengeluarkan surat keputusan pengesahan akta pendiriannya. Bagian b menyatakan bahwa permohonan pengesahan akta pendirian Koperasi Jasa Keuangan Syari’ah baik Jasa Keuangan Syari’ah Primer maupun Sekunder yang anggotanya berdomisili di beberapa kabupaten dan atau kota dalam satu propinsi, diajukan kepada instansi yang membidangi koperasi tingkat propinsi yang membawahi bidang koperasi, dengan terlebih dahulu mendapatkan rekomendasi Pejabat yang membawahi bidang koperasi pada kabupaten dan atau kota tempat domisili koperasi yang bersangkutan, selanjutnya Pejabat tingkat propinsi mengeluarkan surat keputusan pengesahan akta pendirian. Sedangkan bagian c menyatakan bahwa permohonan pengesahan akta pendirian Koperasi Jasa Keuangan Syari’ah Primer dan Sekunder yang anggotanya berdomisili dalam satu wilayah kabupaten dan atau kota diajukan kepada Instansi yang membawahi bidang koperasi pada kabupaten dan kota setempat dan selanjutnya Pejabat setempat mengeluarkan surat keputusan pengesahan akta pendiriannya.
Melihat pengertian BMT sebagaimana ide awal lahirnya dan kemudian pengaturan pemerintah dalam legalitasnya, maka BMT mempunyai peranan sebagai berikut:
1. Mengumpulkan dana dan menyalurkannya pada anggota maupun masyarakat luas.
2. Mensejahterakan dan meningkatkan perekonomian anggota secara khusus dan masyarakat secara umum.
3. Membantu baitul al-maal dalam menyediakan kas untuk alokasi pembiayaan non komersial atau biasa disebut qardh al-hasan.
4. Menyediakan cadangan pembiayaan macet akibat terjadinya kebangkrutan usaha nasabah bait at-tamwil yang berstatus al-gharim.
5. Lembaga sosial keagamaan dengan pemberian beasiswa, santunan kesehatan, sumbangan pembangunan sarana umum, peribadatan dan lain lain. Di sisi lain hal ini juga dapat membantu bait at-tamwil dalam kegiatan promosi produk-produk penghimpun dana dan penyaluran kepada masyarakat.
Walaupun demikian, karena di sisi lain BMT mempunyai misi membangun dan mengembangkan tatanan perekonomian dan struktur masyarakat yang madani dan adil, maka dapat dipahami bahwa tujuan dari BMT bukan semata-mata mencari keuntungan dan penumpukan modal pada segolongan orang kaya saja, tetapi lebih berorientasi pada pendistribusian laba yang merata dan adil, sesuai dengan prisip ekonomi Islam. Oleh karena itu, hal-hal yang harus dikedepankan oleh BMT adalah:
1. Orientasi bisnis, mencari laba bersama, pemanfaatan ekonomi paling banyak untuk anggota dan masyarakat.
2. Walaupun bukan lembaga sosial, tetapi bermanfaat untuk mengefektifkan pengumpulan dana zakat, infaq, dan shodakoh bagi kesejahteraan orang banyak.
3. Ditumbuhkan dari bawah berdasarkan peran serta masyarakat di sekitarnya.
4. Menjadi milik bersama masyarakat bawah bersama dengan orang kaya di sekitar BMT, bukan milik perseorangan atau orang dari luar masyarakat.
Dalam rangka mencapai tujuan dan agar peranannya berjalan dengan maksimal, BMT berfungsi sebagai lembaga yang mengidentifikasi, memobilisasi, mengorganisasi, mendorong dan mengembangkan potensi serta kemampuan potensi ekonomi anggota dan masyarakat daerah kerjanya. Dengan demikian, BMT dituntut untuk mampu;
1. Meningkatkan kualitas SDM anggota dan masyarakat wilayah kerjanya untuk menjadi lebih profesional dan Islami sehingga semakin utuh dan tangguh dalam menghadapi persaingan global.
2. Menggalang dan memobilisasi potensi masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
3. Menjadi perantara keuangan (fiancial intermediary), antara agniya (kelompok orang-orang kaya) sebagai shahibul maal (pemilik dana) dengan du’afa (kelompok masyarakat kelas bawa) sebagai mudharib (pelaksana usaha), terutama untuk dana-dana sosial seperti zakat, infaq, shadaqah, wakaf, hibah, dan lainnya.
4. Menjadi perantara keuangan (financial intermediary), antara pemilik dana (shohibul maal), baik sebagai pemodal maupun penyimpan dengan pengguna dana (mudharib) untuk mengembangkan usaha yang lebih produktif.
5. Koperasi Syariah
6. Pererat Tali Silaturahim agar RahmatNya Senantiasa Terlimpah Atas Ummatnya.
ASSLM...
BalasHapusIZIN COPAS YA..